Jumat, April 08, 2011

Sekedar Refleksi tentang Pembelajaran Matematika

Tulisan ini hanya sekedar refleksi dari apa yg sdg saya pelajari dan realita yg pernah saya alami.
             
 Saat duduk di bangku kuliah semester 4, saya memperoleh mata kuliah Workshop Pendidikan Matematika 1. Dalam mata kuliah ini, saya belajar mendesign dan membuat alat peraga sebagai media penunjang di dlm pembelajaran matematika. Ternyata, ada hal bertolak belakang dgn apa yg kini saya pelajari dgn apa yg pernah saya alami. Nampaknya mata kuliah ini memeberikan pencerahan kpd saya mengenai kegiatan pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika.

Objek dari matematika sendiri sebenarnya berupa fakta, konsep, prinsip, serta operasi yg bersifat abstrak atau dgn kata lain dpt kita sebut bahwa objek matematika adl makhluk halus yg tdk nampak. Untuk anak SD dan SMP yang perkembangan kognitifnya masih berada pada tahap operasional konkret, tentu saja mempelajari matematika yg sesungguhnya bersifat abstrak bukanlah hal yg mudah. Oleh karena itulah, diperlukan  jembatan yg menghubungkan metematika dgn pembelajarn matematika yaitu dgn memanfaatkan media (alat peraga) dlm pembelajaran matematika. Namun, berdasarkan apa yg pernah saya alami saat saya duduk di bangku sekolah dasar, pembelajaran matematika yg terjadi masih bersifat klasik. Tak ada media berupa alat peraga, pembelajaran hny berjln dgn menggunakan metode ceramah. Strategi yg digunakan adl strategi ekspositorik dimana peserta didik lgsg mendptkn pengetahuan dr pendidik atau dgn kt lain pendidik menstransfer lgsg pengetahuan kpd peserta didik.
               
Kini, hal ini tentu saja bertentangan dgn trend pembelajaran dunia. Trend dunia saat ini adalah pembelajaran dgn menggunakan strategi hiuristik dimana peserta didik diharuskan utk menggali pengetahuan sndiri. Guru hny sbg fasilitator semata. Dalam pembelajaran dgn strategi hiuristik ini, peserta didik harus bereksplorasi (menggali pengetahuan sndiri) dan  berelaborasi (melakukan kerja sama atau diskusi dgn teman). Setelah peserta didik melakukan 2 hal ini, mk perlu adanya konfirmasi dr pihak pendidik utk menguatkan pendapat yg plg benar dr peserta didik. Selain itu, untuk membangun pengetahuan matematika yg utuh, kuat dan tahan lama pendidik  perlu menggali pengetahuan prasyarat siswa melalui GQM (Good Question and Modelling) yaitu melalui pertanyaan2 yg bersifat good disertai penggunaan model (alat peraga).Hal ini jelas harus dilakukan oleh pendidik krn menurut Brunner pengetahuan peserta didik akn dibgn melalui 3 tahap yaitu : tahap enaktif (perlu adanya objek konkret, dlm hal ini tentu saja alat peraga), tahap ikonik (perlu adanya gambar, dlm hal ini pendidik dpt mengkorelasikan alat peraga yg digunakan  dgn menggambarkannya di papan tulis), serta yg terakhir adlalah tahap simbolik ( peserta didik dpt memahami tanpa adanya benda konkret dan gambar).
            
 Untuk bisa mengikuti trend pembelajaran dunia tersebut, sudah tentu tidak bisa sembarangan org menjadi pendidik. Pendidik merupakan jabatan profesional dan sebagai penyandang jabatan profesional harus dipersiapkan melalui program pendidikan yg relatif panjang dan dirancang berdasarkan standar kompetensi pendidik. Selanjutnya, kompetensi pendidik yg dimaksud adlh meliputi kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran), kompetensi kepribadian (terkait dgn performs pribadi seorang pendidik), kompetensi profesional (kemampuan penguasaan materi pmbljrn scr luas dan mendlm), serta yg terakhir adlh kompetensi sosial (kemampuan berkomunikasi dan bergaul scr efektif).

Memang sgt disayangkn sekali krn di masa kini pun trend pembelajarn dunia ini bagi sebagian besar kalangan hny mrpkn topik perbincangan saja. Meskipun pemerintah sendiri telah mengamanahkan KTSP dimana pembelajarannya dikembangkan berbasis 7 hal yaitu : menggunakan paham konstruktivisme, inquiry (menemukan), questioning (bertanya), modelling (pemanfaatan media), learning community (msyrkt belajar) reflection (refleksi), serta assesmen autentik ( penilaian yg sebenarnya), namun pembelajaran yg berlangsung kebanyakan msh bersifta klasik, pendidik masih menerapkan metode yg jadul, khususnya untuk pembelajaran matematika. Saya merasakan dan mengalami hal ini sejak duduk di bangku sd, smp, dan sma. Tadinya saya berpikir bahwa pembelajaran yg saya alami seperti itu krn masa2 saya duduk di  sd, smp, dan sma adlh mrpkn masa yg sdh kadaluarsa. Namun tnyta pemikiran sy itu slh. Adik saya yg duduk di bangku smp dan tetangga saya yg msh duduk di bangku sd pun ternyata mengalami pembelajaran masih dgn metode klasik. Entah apa alasannya. Bisa jadi sang pendidik tidak punya bnyk waktu dan biaya untuk membuat berbagai macam alat peraga, menyusun good question, dll sehingga mungkin metode klasiklah pilihan tepat yg dipilih. Padahal matematika adlh pelajaran yg sulit dan seharusnya untuk membuat sesuatu yg sulit itu menjadi disukai diperlukan kekreatifan dari pendidik melalui konstruksi dan design alat peraga sehingga pembelajaran matematika diharapkan  akan berlangsung menyenangkan,  penuh kebermaknaan, serta dapat  meminimalisirkan kesalahan konsep.
       
Ayo, untuk teman-teman calon pendidik profesional tuntutlah ilmu dgn baik dan penuh keseriusan, kemudian aplikasikanlah scr global apa yg telah kalian pelajari. Jgn sampai mengajarkan konsep2 yg salah. Nantinya bukan pahala yg diperoleh, namun dosa krn melakukan pembodohan dan pembohongan kpd peserta didik. Ingat kt2 dosen kita : "Janganlah membenarkan yg biasa, tp haruslah membiasakan yg benar. "
      

0 komentar:


The Vote